Saturday, August 25, 2018

Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional

Genre: Non-fiksi
Penulis: L. Ayu Saraswati
Penerjemah: Ninus D. Andarnuswari
Tebal: 254 halaman
Tahun terbit: Cetakan pertama, Juli 2017
Penerbit: Marjin Kiri
Sinopsis:

Di Indonesia, berkulit putih dipandang sebagai norma kecantikan. Obsesi memiliki kulit putih membuat produk pemutih kulit menduduki tempat teratas dalam penjualan industri kosmetik. Dari mana obsesi itu bermula, dan apa makna sosial-politik berkulit putih di Indonesia?

Bahkan jauh sebelum masuknya kolonialisme Barat, perempuan berkulit putih sudah dianggap sebagai ideal kecantikan, seperti terlihat dari epos India Ramayana yang diadaptasi di Jawa pada akhir abad ke-9. Pada era kolonialisme Belanda, putih mulai mendapat muatan rasialnya ketika cantik putih diidentikkan dengan ras Kaukasia. Seiring masuknya Jepang ke Indonesia, disebarkanlah ideal cantik putih yang baru: putih Asia. Sementara pada era pascakolonial, ruang geografis Indonesia rupanya menjadi penanda penting untuk dilekatkan pada kategori putih yang kini nasionalistik, yakni “putih Indonesia”. Terakhir, pada era globalisasi kontemporer saat ini, kulit putih menjadi kualitas virtual yang lepas dari tubuh riilnya secara rasial maupun kebangsaan.

Buku ini bermaksud melacak peredaran citra-citra kecantikan lintas lokasi geografis dan babak kesejarahan yang berbeda-beda, dan menjelaskan bagaimana sirkulasi transnasional tersebut turut melestarikan supremasi putih di aras global dan membentuk konstruksi ras, gender, dan warna kulit di Indonesia.

*
Sedari kecil sebagai perempuan berkulit sawo matang yang tinggal di Indonesia, tentu tidak asing bagiku mendapat berbagai ‘nasihat’ bahwa sebagai perempuan, haruslah berkulit putih cantik bersih tanpa cela. Perempuan yang dimaksud ini adalah perempuan yang ada di iklan-iklan sabun dan pemutih kulit yang cantiknya seperti dewi, dan terkadang digambarkan tidak realistis. Kenapa harus putih? Dan mengapa putih selalu diasosiasikan dengan kecantikan?

“Karena kita dibesarkan di Indonesia, kita dididik untuk jadi istri yang baik. Jika kamu tak bisa jadi istri yang baik karena kamu hitam, kamu harus unggul di bidang lain, jadi saya tekun membaca atau lainnya” –hal. 212, hasil wawancara dengan Ira

Berangkat dari campuran rasa ingin tahu dan sedikit kejengkelan akan standar kecantikan yang cacat, Putih banyak menjawab rasa penasaranku serta dua pertanyaan di atas. Dibagi menjadi enam bab, Putih cukup ambisius dalam menjawab mengapa kulit putih menjadi norma kecantikan di Indonesia khususnya, dan di dunia secara umum. Pendahuluan yang gamblang mengupas tuntas mengapa penulis memilih kecantikan dan Indonesia sebagai topik utama buku ini sebelum masuk ke bab selanjutnya. Di bab pertama, premis yang ditawarkan penulis cukup kuat. Di sini penulis menguraikan metodenya dalam melacak putih sebagai norma kecantikan lewat rasa, afek, dan emosi. Walaupun bab ini cukup pendek, adalah menarik ketika melihat bahwa putih sering diasosiasikan dengan tindak positif di epos Ramayana. Pembacaan yang penulis lakukan pada epos Ramayana baik versi India dan versi Jawa Kunonya, menunjukkan bahwa pelekatan tindak positif banyak ke lakon yang berkulit terang dan sebaliknya. Yang perlu digarisbawahi adalah dalam masa ini, asosiasi warna kulit dengan sifat belumlah mengandung wacana rasial.

Baru di bab kedua inilah, putih bergeser menjadi putih yang mengandung muatan rasial dalam era kolonialisme Belanda dan Jepang. Sembari mengaitkan teori emosi dengan analisis iklan-iklan kecantikan di zaman tersebut, ketika dilihat lebih dalam, ideal kecantikan selama abad 9 di Jawa prakolonial berbeda dengan ideal di zaman kolonial. Seperti termaktub pada halaman 82, bahwa: 

"Perempuan berkulit terang yang dianggap cantik pada waktu itu (Jawa prakolonial) tidak harus putih, apalagi anggota ras kulit putih Kaukasia.”

Terlihat bagaimana wacana putih Kaukasia berusaha meleburkan makna kulit putih dengan makna ras putih. Mungkin inilah yang membuat implicit bias terkadang diamini oleh beberapa dari kita. Bahwa warna kulit putih menunjukkan supremasi yang dimiliki.

Wacana ideal kecantikan yang digaungkan pada masa penjajahan Jepang berbeda lagi. Dengan hasrat ingin menandingi kecantikan putih Eropa, iklan-iklan di zaman ini banyak menyuarakan semangat putih Asia. Citra putih Asia ini tak serta merta mengucilkan Indonesia, namun juga ikut memberikan panggung kepada perempuan Indonesia untuk menggaungkan putih Asia. Meskipun begitu, penjelasan mengenai putih Asia tidak terartikulasikan dengan jelas dikarenakan sudah mendarah dagingnya narasi putih Kaukasia. Ketidakmampuan memperkenalkan warna yang ‘baru’ ini terlihat dari bagaimana salah satu iklan bedak Club tahun 1944 di Djawa Baroe memilih menggunakan kata “warnanya baru sekali” dibandingkan “warna yang putih”.

Bab ketiga dan keempat menjelaskan lebih lanjut tentang putih Indonesia dan putih kosmopolitan (mengacu kepada majalah serta definisi aslinya). Putih Indonesia pun juga masih terbayangi dengan putih Kaukasia. Kegagalan mengenalkan konsep putih Indonesia dapat dilihat bagaimana beberapa iklan saat itu masih menggunakan model perempuan Indo (berdarah Indonesia dan Eropa) serta perempuan Kaukasia.

Isu yang kontekstual sekarang ini dengan berbagai wacana pemberdayaan perempuan lewat make-up (“aku memakai make-up bukan untuk laki-laki. I did this for myself") mencuat di bab keempat ini dan menyedot perhatianku. Sebaiknya, bagaimana para perempuan memaknai penggunaan make-up? Harus disadari betul bahwa arus konsumerisme deras di zaman modern ini juga dikontribusi oleh struktur masyarakat yang kental akan patriarki.

“Kritikus media Susan Douglas dalam Narcissism as Liberation mengemukakan bahwa saat pengiklan dan/atau perempuan mengklaim bahwa aneka produk (kecantikan) ini digunakan untuk kepentingan mereka sendiri (tidak niscaya untuk laki-laki, misalnya), besar kemungkinan masalah-masalah dalam hidupnya lantas akan dibaca sebagai “kegagalan pribadi” alih-alih menempatkannya dalam konteks masyarakat patriarkal yang lebih luas (2000,280). ...... alih-alih mempertanyakan mengapa perempuan dilanda semua persoalan ini pada awalnya. Sederhananya, konsumerisme ini, demi mempercantik diri—mulai dari memakai lipstik sampai bedah kosmetik—bahkan saat dipersepsikan demi kepuasan perempuan sendiri, justru makin memberi kekuasaan lebih kepada laki-laki.” –hal 150-151

Salah satu alasan mengapa buku ini aku katakan ambisius adalah pendekatan penulis mengenai topik yang ditulis cukup banyak. Dalam bab kelima ini, penulis juga memaparkan wawancara dengan perempuan-perempuan Indonesia yang melakukan praktik pemutihan kulit serta mengaitkannya dengan rasa malu. Hasil wawancara ini mengantarkanku pada satu kesimpulan; bahwa tak ada putih yang benar-benar ‘putih’ secara literal. Banyak orang mengatakan ingin putih Jepang, putih Cina, putih langsat, atau putih Kaukasia. Namun, seperti apakah rupa putih itu?

“Putih sebagai warna kulit itu sama tidak stabilnya dan tidak terbatasnya seperti putih sebagai rona, dan justru di sinilah letak kekuatannya. Hal itu memungkinkan putih disajikan sebagai kategori yang tampaknya dapat dicapai, fleksibel, dan variatif, sembari menetapkan kriteria inklusi yang selalu dapat digeser, putihnya warna kulit Anda. (Dyer, 1997)" –hal. 97

Tidak hanya itu, cakupan sejarah yang ditulis sangat luas. Disinggung juga bagaimana kebijakan Orde Baru serta topik mengenai kondisi sosial-politik-agama Indonesia di masa-masa tersebut mewarnai konstruksi ideal kecantikan. Buku ini penuh dengan kutipan jurnal-jurnal serta penelitian yang membuatnya sedikit agak berat jika dibaca dalam sekali waktu.

Sebagai penutup, jika Putih dan ideal kecantikan selama ini selalu bersifat spesifik gender kepada perempuan, apakah ideal kecantikan yang sama juga berlaku pada obsesi perempuan-perempuan yang mendambakan pasangan 'seputih' anggota boyband Korea? Putih mengantarkan kita kepada ruang diskusi baru mengenai pemaknaan ideal kecantikan yang jarang dibahas di sekitar kita.

No comments:

Post a Comment