Saturday, May 9, 2020

Hidup di Luar Tempurung


Genre: Memoar
Penulis: Benedict Anderson
Penerjemah: Ronny Agustinus
Tebal: 205 halaman
Tahun terbit: 2016
Penerbit: Marjin Kiri
Sinopsis:

Lahir di Tiongkok, Benedict Anderson menghabiskan masa kecilnya di California dan Irlandia, bersekolah di Inggris, sebelum akhirnya masuk ke Cornell University dan membawa kajian Indonesia dan Asia Tenggara mendunia.

Di buku ini, Anderson mengisahkan kehidupannya yang tak menutup diri dari dunia: latar belakang era,keluarga,dan pendidikan yang membuatnya terpapar pada asyiknya belajar bahasa dan pentingnya terjemahan; gagasan dan bacaan yang melandasi karya-karyanya yang berpengaruh panjang pada ilmu-ilmu sosial, politik,dan kebudayaan. Ia uraikan pula pengalaman riset lapangan di Indonesia, Siam, dan Filipina ,pengaruh Kiri Baru pada pemikiran global,serta perubahan-perubahan kontemporer yang membuat kaum akademis harus memikirkan perannya dewasa ini.
"Katak-katak dalam perjuangan mereka untuk emansipasi hanya akan kalah dengan mendekam dalam tempurungnya yang suram. Katak sedunia, bersatulah!" -hal. 197
Seperti yang tertulis di sinopsisnya, buku ini adalah autobiografi dari seorang Indonesianis terkemuka, Benedict Anderson. Aku kali pertama mengenal karyanya melalui Imagined Communities dan Under Three Flags. Orang awam mungkin akan berpikir apa menariknya membaca memoar tentang kehidupan akademik seorang dosen yang mencurahkan hidupnya untuk meneliti, membaca dan menulis. Namun, hal ini tidak berlaku bagi memoar ini. 

Buku ini dibagi menjadi enam bab yang secara urut menjelaskan fase-fase kehidupan Benedict Anderson, dari asal usul keluarganya yang ‘kaya’ akan berbagai etnis sampai periode pensiunannya. Seperti sudah bisa ditebak, penjelasan dan narasi mendetil lebih difokuskan ke uraian tentang kehidupan akademisinya dibanding kehidupan pribadinya.

Dari uraian tentang kehidupan akademisinya yang malang melintang, salah dua bab yang sangat aku sukai membacanya adalah bab Kajian Wilayah dan Interdisipliner. Seorang dosen kawakan, Benedict dengan cergas mengutarakan kritik dan observasinya tentang beberapa tradisi di dunia akademik Amerika. Di Kajian Wilayah, misalnya, ia membeberkan asal-usul terbentuknya disiplin kajian wilayah ini sebagai konsekuensi dari Perang Dingin serta naik surutnya tantangan yang dihadapi oleh pengembangan disiplin ini. Di Interdisipliner, ia membahas berubahnya peran universitas-universitas pasca Revolusi Prancis serta beberapa renungan lainnya tentang kajian interdisipliner

Bagian Interdisipliner ini membuatku banyak berefleksi akan pengalaman pribadiku tentang kepongahan dan prasangka dari berbagai disiplin ilmu. Benedict sendiri mengakui bahwa kajian interdisipliner memang rentan terlihat kabur dan terbuka akan berbagai penafsiran yang berbeda-beda. Di sisi lain, kajian interdisipliner yang tidak anti terhadap disiplin ilmu lainnya akan merobohkan tembok kepongahan yang sering muncul di kalangan akademisi tertentu. Kajian yang terbuka dengan disiplin ilmu lainnya akan membikin akademisi dari kajian tersebut untuk berdiri di luar pagar nyamannya dan melihat betapa aneh atau lucunya disiplin ilmunya tersebut ketika dilihat secara objektif. Kelak, yang diharapkan dari observasi semacam ini adalah munculnya kebisaan untuk bisa berempati dengan yang asing dan yang berbeda.

Selain renungan di atas, renungan lain yang membekas buatku adalah tentang berubahnya kontur tradisi universitas sejak tahun 1960an di Eropa dan Amerika. Benedict bercerita bagaimana generasinya masih dituntut untuk dapat lulus lima ujian selama lima hari berturut-turut untuk lulus gelar pascasarjana. Ia membandingkan betapa berbeda kondisinya dengan mahasiswa pascasarjana di 15 tahun kemudian. Mahasiswa ini hanya dituntut untuk menyelesaikan jumlah ujian yang lebih sedikit untuk lulus. Singkatnya, beban untuk lulus bagi mahasiswa memang terlihat lebih ringan namun bukan berarti mahasiswa baru ini kurang berpengalaman dibanding para pendahulunya. Tradisi akademik baru di Eropa dan Amerika adalah apa yang disebut Benedict dengan ‘profesionalisme’, di mana kurikulum, materi, serta ujian dipadatkan sedemikian rupa untuk melatih para mahasiswa agar familiar dengan bursa pasar kerja akademik setelah mereka lulus. Sehingga, gelar yang dicapai ini adalah semacam kualifikasi mereka untuk dapat masuk dalam profesi, layaknya dokter dan pengacara yang harus mendapatkan kualifikasi untuk membuka praktik/layanan.

Aku sendiri merasa bahwa perubahan tradisi universitas dari mendidik mahasiswa untuk pengetahuan secara umum ke melatih mahasiswa secara profesional untuk bersaing di bursa kerja adalah alasan mungkin yang memunculkan keengganan untuk terbuka dengan disiplin ilmu lain (yang mungkin saja juga menimbulkan snobbism terhadap disiplin lain). Selain itu, perlu diingat juga bahwa di era kontemporer sekarang, tuntutan semakin banyak padahal waktu yang tersedia semakin sedikit bagi seorang dosen/peneliti serupa. Belum lagi, pertanyaan tentang adanya kucuran dana hibah untuk melanggengkan riset yang sedang dijalankan. Olehnya, tidak heran kalau di gelanggang akademik Indonesia sekarang ini masih menekankan pentingnya linieritas ilmu dibanding keterbukaan yang ditekankan oleh Benedict.

Usai menuntaskan buku ini, aku merasa terkesima dengan betapa ambisius serta rendah hatinya sosok Benedict Anderson ini. Ia adalah sosok yang ambisius, dalam artian akademik yang berarti tidak gampang berpuas diri dan nyaman di gelembungnya sendiri. Ia adalah pembaca yang kaya, dari tulisan ahli folklor terawal di Filipina Isabelo de los Reyes pada abad 19 akhir hingga tulisan jurnalis Kwee Thiam Tjing yang menulis Indonesia dalem Api dan Bara di tahun 1947. Gairah dan kedekatan emosionalnya dengan Indonesia serta bidang yang ia minati adalah sesuatu yang aku kagumi. Tidak hanya itu, ia adalah poliglot ulung yang fasih beberapa bahasa, di antaranya adalah Indonesia, Filipina, Thai, Prancis, Belanda, dan Latin. Ia adalah ilmuwan sosial yang mengamini bahwa harus hukumnya untuk menguasai suatu bahasa jika ingin mendalami suatu kajian di wilayah tersebut, karena sumber-sumber dari bahasa lokal tersebut membawa riset menjadi lebih luas dan penuh nuansa.

Tidak hanya buku ini membuatku ingin melanjutkan belajar bahasa asing kembali, namun aku juga menyadari betapa kecilnya pengetahuan dan pengalaman yang aku dapatkan selama mengenyam pendidikan sarjana. Kehidupan Benedict Anderson memang sesuatu yang menjadi target iri banyak orang, namun untukku pribadi, kehidupannya mengajarkanku bahwa memang selalu ada banyak hal yang kita tidak tahu di dunia ini dan untuk mendekati jawaban atas teka-teki itu, belajar dengan gairah keingintahuan yang besar serta keriangan akan hal-hal kecil maupun besar dalam hidup adalah salah satu alternatif solusinya.

Akhir kata, aku merekomendasikan membaca memoar ini bagi mereka yang sedang jenuh dengan kehidupan akademiknya atau yang ingin berkenalan dengan sosok Benedict Anderson sebelum membaca karyanya yang lain.

1 comment: