Monday, June 22, 2020

Please Look After Mom

Genre: Fiksi
Penulis: Kyung Sook Shin
Penerjemah: Tanti Lesmana
Tebal: 296 halaman
Tahun terbit: 2011
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Sinopsis:

Sepasang suami-istri berangkat ke kota untuk mengunjungi anak-anak mereka yang telah dewasa. Sang suami bergegas naik ke gerbong kereta bawah tanah dan mengira istrinya mengikuti di belakangnya. Setelah melewati beberapa stasiun, barulah dia menyadari bahwa istrinya tak ada. Istrinya tertinggal di Stasiun Seoul.

Perempuan yang hilang itu tak kunjung ditemukan dan keluarga yang kehilangan ibu/istri/ipar itu mesti mengatasi trauma akibat kejadian tersebut. Satu per satu mereka teringat hal-hal di masa lampau yang kini membuat mereka tersadar betapa pentingnya peran sang ibu bagi mereka; dan betapa sedikitnya mereka mengenal sosok sang ibu selama ini, perasaan-perasaannya, mimpi-mimpinya, harapan-harapannya.



*

Setelah menonton Kim Ji-young Born 1982 yang benar-benar menguras emosi, aku kembali menjadi penasaran dengan literatur Korea yang bertema seputar perempuan dan kehidupan rumah. Walaupun tidak menawarkan kritik gender setajam Kim Ji-young Born 1982, Please Look After Mom sebenarnya menjanjikan dalam hal ia berhasil menyingkap realita kehidupan modern masa sekarang ini.

Novel ini diceritakan dari berbagai perspektif, dimulai dari anak perempuan pertama dalam keluarga yang bernama Chi-hon, anak lelaki sulung bernama Hyong-chol, sang Ayah, hingga sosok Ibu sendiri. Dari berbagai kepingan perspektif ini, pembaca menjadi tahu sikap-sikap Ibu dan anak-anaknya yang telah dewasa yang seakan semakin melupakan rumah. 

Novel ini sebenarnya sudah kubeli semenjak 2016 lalu, namun aku baru benar-benar membacanya ketika aku akhirnya pulang ke rumah pertengahan Juni ini. Pengalaman subjektifku yang membuatku memikirkan kembali tentang rumah menarikku untuk membaca novel ini setiba di kampung halaman. Oleh karena faktor tersebut, aku beberapa kali menangis membaca novel ini, membayangkan si sosok Ibu. Banyaknya interaksi ibu-anak perempuan yang digali di novel ini membuatku merasa ‘diserang’ dan ‘telanjang’ karena nyatanya beberapa adegan yang ada di novel memang pernah kualami. 

Walaupun novel ini membuatku menangis, cara Kyung Sook Shin menyampaikan narasinya sempat membuatku bingung karena ia menggunakan kata ganti kedua “Kau” yang cukup langka dipakai. Aku perlu membaca lekat-lekat dua-tiga halaman untuk mengetahui siapa yang bicara dan kepada siapa ia bicara. Penggunaan kata ganti kedua ini tidak begitu mengganggu ketika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, namun aku bisa membayangkan betapa terdengar aneh dan membingungkannya kalau membaca novel ini dalam versi Bahasa Inggrisnya. 

Berbicara tentang karakternya, para tokoh anak ini terasa masih dua-dimensi. Bagian cerita yang dituturkan dari perspektif anak kebanyakan selalu dalam lingkup interaksi ibu-anak. Sebagai pembaca, aku tidak mengetahui peristiwa hidup mereka lainnya yang tidak berhubungan dengan keluarga yang membentuk pribadi mereka setelah mendewasa. Sebagai contoh yaitu bagaimana sosok Chi-hon sangatlah mewakili stereotip wanita karir modern. Chi-hon berumur tigapuluhan, belum menikah, dan karirnya sebagai penulis membuatnya sering diundang ke berbagai negara. Ia juga sangat susah dihubungi, baik oleh Ibunya dan saudaranya sendiri. Karakter Chi-hon akan lebih rounded apabila diceritakan bagaimana ia menjadi penulis, hubungannya dengan kekasihnya Yu-bin, dan hubungannya dengan Ayahnya. Oleh karena karakter yang bersifat dua dimensi ini, aku menjadi maklum membaca beberapa resensi yang merasa anak-anak Ibu ini tidak tahu diri dan tidak peduli dengan Ibu.

Sebaliknya, karena sosok Ibu dituturkan dari berbagai perspektif, figurnya terasa nyata dan hidup. Sosok Ibu yang selfless, suaminya yang egois, atau bagaimana ia mencoba menahan semua emosi yang ia tanggung sendirian--sosok Ibu ini terasa hidup dalam diri ibu-ibu di dunia nyata. Kesan-kesan seperti bagaimana seorang ibu belajar untuk menihilkan kebutuhannya sendiri bukan karena keinginan namun keadaan disampaikan dengan baik lewat sang Ibu yang penuh kompleksitas emosi. 

Selain itu, ada beberapa plothole yang tersebar di sepanjang novel. Garis waktu antara jarak usia masing-masing anak Ibu rasanya aneh, serta aku tidak pernah tahu apakah Ibu mempunyai empat atau lima anak. Anak-anak Ibu yang disorot hanyalah tiga saja: Chi-hon, Hyong-chol, serta anak perempuan kedua. Namun, aku malah merasa ketidakcocokan ini mungkin memang disengaja untuk menekankan bahwa bisa saja yang Kyung Sook Shin ingin sampaikan adalah interaksi antar ibu-anak, bukan masalah teknikal seperti jumlah anak dan kecocokan garis waktu. Atau, mungkin saja aku yang mempunyai keterkaitan dengan premis cerita sendiri merasa bahwa plothole tersebut bukanlah masalah besar.

Pendeknya, novel ini bisa dikatakan menghidupi ungkapan bahwa “setelah kehilangan, kita baru merasakan arti kehadiran seseorang”. Secara keseluruhan, membaca novel ini membuatku berefleksi kembali atas hal-hal yang lalu dan yang akan datang. Ketika hidup sudah berurusan dengan banyak hal, memang terasa mudah untuk memperlakukan kehadiran seseorang secara cuma-cuma. Pada akhirnya, tantangan untuk mendewasa adalah menjembatani hal-hal seperti itu dan tidak berhenti dalam kepuasan bahwa mendewasa berarti mengikuti rutinitas baru dan melupakan hal-hal yang membentuk kita.


No comments:

Post a Comment