Tuesday, July 14, 2020

Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida

Genre: Nonfiksi, Filsafat
Penulis: F. Budi Hardiman
Tebal: 344 halaman
Tahun terbit: 2015
Penerbit: PT Kanisius
Sinopsis:

Buku ini membahas sebuah persoalan yang sangat manusiawi, yaitu memahami. Memahami berbeda dari mengetahui. Seorang yang baru sampai mengetahui belum sampai memahami. Filsafat menyelami masalah ini dalam apa yang disebut hermeneutik. 

Apakah itu hermeneutik?
Bagaimana memahami mitos, kitab suci, sains?
Apa kaitan proses memahami dengan kekuasaan, prasangka, tradisi, dan ideologi?
Mengapa perlu hermeneutik untuk mengatasi radikalisme agama?
Mengapa klaim kebenaran final sangat berbahaya?

Buku ini akan mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan ini dengan mengulas secara sistematis dan historis delapan pemikiran utama hermeneutik modern yaitu: Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, Bultmann, Gadamer, Habermas, Ricoeur, dan Derrida serta silang gagasan di antara mereka.

Hermeneutik bukan hanya kesibukan pokok para teolog, filsuf, ahli hukum, politikus, pakar komunikasi, sastrawan, budayawan, melainkan juga semua orang yang ingin menjadi lebih manusiawi menghadapi yang lain dalam keberlainannya, entah itu berkaitan dengan politik, kultur, agama, atau gender.

***

Aku sudah lumayan sering mendengar kata hermeneutik dilontarkan dalam diskusi-diskusi, namun tidak pernah betul-betul mengerti definisinya. Berhubung aku menikmati membaca Humanisme dan Sesudahnya yang juga ditulis oleh F. Budi Hardiman, kurasa tidak ada salahnya aku membaca bukunya yang satu ini.

F. Budi Hardiman membahas hermeneutik dari perspektif delapan pemikir modern hermeneutik yang kebanyakan adalah intelektual besar Jerman dan Prancis. Bahasan ini dibagi menjadi delapan bagian. Karena membahas tiap hermeneutik pemikir-pemikir ini lumayan menyusahkan, aku akan membagi bahasan berdasarkan jenis hermeneutik. Yang pertama dibahas adalah hermeneutik reproduktif milik Schleiermacher dan Dilthey. Schleiermacher, yang hidup dalam zaman Romantik, meyakini memahami sebagai sebuah seni untuk menghadirkan kembali maksud penulis dari zaman lampau ke zaman sekarang dengan memosisikan diri sang penafsir sebagai penulis. Dilthey, berbeda dengan Schleiermacher, melihat memahami sebagai sebuah metode ilmu-ilmu kemanusiaan dan menolak bahwa memahami dapat dicapai dengan empati psikologis semacam itu. Dilthey berpendapat bahwa memahami dicapai dengan interpretasi yang berfokus pada dunia sosial-historis.

Selanjutnya, hermeneutik modern menjadi berbelok ke arah yang lain dengan hermeneutik Heidegger yang berciri pra-kognitif. Hermeneutik Heidegger yang disebut juga sebagai hermeneutik faktisitas berpendapat bahwa memahami adalah cara berada manusia di dunia sebagai konsekuensi atas ‘terlemparnya’ manusia ke dunia. Tugas hermeneutik Heidegger bukan lagi untuk menghadirkan makna seutuhnya seperti hermeneutik reproduktif, tetapi untuk menyingkap kemungkinan di masa depan. Sehingga, bisa dibilang bahwa hermeneutik Heidegger bersifat spekulatif. Hermeneutik Heidegger lalu mempengaruhi hermeneutik Bultmann dan Gadamer. Jika hermeneutik Bultmann berkutat dengan eksegesis kitab suci, hermeneutik Gadamer bersifat produktif dengan merehabilitasi tradisi, prasangka, dan otoritas. Pembenturan manusia dengan tradisi-tradisi ini akan menghasilkan sesuatu yang sama sekali baru.

Hermeneutik yang ketiga adalah hermeneutik kritis yang digagas oleh Habermas. Habermas mencurigai bahwa hermeneutik tidaklah bersifat universal, bahwa ada batas-batas dalam hermeneutik biasa. Batas-batas ini adalah bahasa yang tidak selalu netral serta adanya teks abnormal yang menimbulkan kesadaran palsu. Teks abnormal ialah suatu teks yang ditulis tanpa kendali sadar penulisnya (indoktrinasi ideologi). Hermeneutik kritis Habermas di sini berperan untuk menjernihkan distorsi komunikasi semacam itu untuk membebaskan ketaksadaran menuju kesadaran. Dalam kata lain, hermeneutik kritis Habermas bertujuan untuk mencapai kesepahaman dengan mengatasi kesepahaman semu dari abnormalitas teks.

Hermeneutik kritis milik Ricoeur mempunyai corak warna berbeda karena ia melihat memahami sebagai merenungkan. Bagi Ricoeur, memahami teks tidak hanya untuk memahami makna, namun makna itu harus direfleksikan dengan makna hidup. Teks tidak hanya menjadi objek interpretasi, namun juga objek refleksi filosofis. Di sisi lain, hermeneutik kritis milik Derrida melangkah melampau Habermas serta Ricoeur. Hermeneutik Derrida lebih dikenal sebagai hermeneutik radikal. Hermeneutik radikal bertolak dari dekonstruksi. Dekonstruksi adalah suatu peristiwa pembacaan, bukan suatu metode atau teori untuk diikuti. Berbeda dari hermeneutik Schleiermacher sampai Gadamer, dekonstruksi tidak menghendaki untuk merehabilitasi makna teks. Sebaliknya, dekonstruksi mengandaikan ketidakmungkinan keutuhan makna sebuah teks. Dalam kalimat lain, bagi hermeneutik radikal, interpretasi bergerak tak terhingga karena tak ada sebuah makna primordial/induk yang koheren dari sebuah teks. 

“Kebenaran tidak diabsolutisasi karena pencairan kebenaran akan terus berlangsung lewat interpretasi.” -hal. 322

Membaca dialektika antara pemikir-pemikir di atas tentang hermeneutik sangatlah menarik untuk diikuti. Walaupun buku ini cukup tebal, cara penulis menyampaikan poin-poinnya mudah diikuti untukku yang masih awam dengan filsafat. Pembagian bahasan para pemikir ditulis dengan sistematis, sehingga pembaca tidaklah perlu untuk melompat ke bab-bab lain karena setiap bahasan mempunyai benang merahnya dengan bab lain. Setiap subbab diringkas dalam pokok gagasan singkat, tiap babnya pun selalu ada bagian kesimpulan dan retrospeksi yang mencakup bahasan di bab tersebut. Rasa-rasanya, buku ini memang ditujukan untuk kalangan mahasiswa atau siapapun yang ingin belajar tentang hermeneutika. 

Setiap babnya membuatku merasa tercerahkan, terlebih karena arti memahami tidak tunggal seperti yang aku tahu selama ini. Memahami di dalam buku ini didefinisikan sebagai kegiatan menangkap atau merasakan sesuatu yang dialami orang lain. Baru mengetahui suatu hal belum berarti sudah memahami. Memahami juga tidak diraih hanya dengan menjarakkan diri dari objek yang ingin dipahami, karena ada suatu makna yang juga ingin ditangkap. Singkatnya, memahami berbeda dengan pemahaman, karena tidak seperti pemahaman yang mengacu pada hasil, memahami lebih mengacu kepada proses terus menerus dalam kegiatan menangkap pengalaman seseorang.

Memahami ketika diaplikasikan dalam kerangka epistemis menjadi semakin kompleks. Kompleksitas ini kurasakan betul-betul ketika membaca hermeneutik radikal milik Derrida. Susah bagiku untuk tidak sekenanya menganggap hermeneutik radikal Derrida sebagai sebuah bentuk nonsens lain dari posmodernisme, mengingat Derrida pernah dibahas dalam satu kelasku. Pembacaanku atas dekonstruksi sering kali mengantarkanku pada relativisme dan nihilisme. Untung sekali, penulis seperti tahu tendensi itu dan mengingatkan bahwa dekonstruksi bisa dibaca sebagai “tantangan untuk tidak menghentikan pencarian kebenaran.” Begitupun, aku masih belum bisa membayangkan bagaimana mengaplikasikan pembacaan dekonstruksi pada suatu karya sastra (serta, apakah suatu pembacaan dekonstruksi dimungkinkan tanpa mereduksi banyak nilai yang terkandung dalam karya sastra).

Selain itu, poin lain yang ditonjolkan penulis adalah bagaimana hermeneutika modern bisa mengatasi literalisme skriptural di zaman modern dengan fundamentalisme agama yang semakin naik daun. Seringkali, memahami teks kitab suci dengan cara yang berbeda dari yang secara literal akan dituduhkan sebagai ketidakmurnian atau tabu. Padahal, lagi-lagi, kita harus ingat bahwa kitab suci tidak menyediakan kebenaran final yang siap-pakai untuk masyarakat yang beragam seperti sekarang.

Akhir kata, aku merasa buku ini perlu dibaca bagi siapapun yang ingin memahami ‘yang liyan’ dalam kehidupan sehari-hari--sesederhana agar tidak terjebak dalam prasangka dan penghakiman. Memahami memang sudah seharusnya dihayati, baik sebagai seni atau keahlian dasar agar kita menjadi lebih manusiawi dan welas asih dengan yang lain.

No comments:

Post a Comment