Sunday, May 13, 2018

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas

Genre: Fiksi
Penulis: Eka Kurniawan
Tebal: 242 halaman
Tahun terbit: Cetakan keenam, Oktober 2016
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Sinopsis:

Di puncak rezim yang penuh kekerasan, kisah ini bermula dari satu peristiwa: dua orang poilisi memerkosa seorang perempuan gila dan dua bocah melihatnya melalui lubang di jendela. Dan seekor burung memutuskan untuk tidur panjang. Di tengah kehidupan yang keras dan brutal, si burung tidur merupakan alegori tentang kehidupan yang tenang dan damai, meskipun semua orang berusaha membangunkannya.

*
Blak-blakan. Kurang ajar. Kasar.

Tiga kata tadi cukup untuk merangkum apa yang terjadi dalam novel ini. Lagi-lagi, novel ini dibuka dengan kalimat yang membuat terhenyak. 

“Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati,” kata Iwan Angsa sekali waktu perihal Ajo Kawir. –halaman 1

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas mengikuti cerita seorang lelaki bernama Ajo Kawir, yang impoten. Burungnya tak bisa berdiri semenjak ia tidak sengaja melihat seorang perempuan gila yang cantik bernama Rona Merah diperkosa dua orang polisi, Si Pemilik Luka dan Si Perokok Kretek. Si Tokek, temannya yang juga melihat hal ini, merasa bersalah karena telah menyebabkan burung temannya tidur untuk waktu yang panjang.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh Ajo Kawir dan Si Tokek untuk membangunkan si burung. Mulai dari mengolesi cabai pedas ke kemaluan hingga mengundang pelacur paling laris di kampung mereka tinggal. Semua upaya ini berakhir sia-sia. Hingga suatu hari, Ajo Kawir jatuh cinta kepada seorang gadis tangguh bernama Iteung. Namun, bertemu Iteung pun burung Ajo Kawir tak mau bangkit. Ajo Kawir dilanda keputusasaan dan kekhawatiran; maukah Iteung menerima fakta bahwa dirinya ini impoten?

Seperti dalam Lelaki Harimau dan Cantik Itu Luka, karya Eka Kurniawan yang satu ini masih berputar sekitar orang-orang pinggiran dan nafsu seksual yang aneh sekaligus membludak. Novel ini terdiri atas 8 bab, dengan masing-masing bab terdiri atas sekitar 30 halaman. Keterusterangan dalam narasi Eka Kurniawan membuat ceritanya mengalir dan mudah diikuti. Dengan cerita yang vulgar ini, novel ini mendapat label 21+. Untuk kalian yang sudah dewasa ataupun masih di bawah umur sepertiku tapi siap menerima kontennya, aku rekomendasikan novel ini untuk melihat seperti apa gaya bercerita Eka Kurniawan. Walau masuknya vulgar, adegan panas di novel ini tidak dideskripsikan begitu detil yang membuatku eneg, malahan terkesan buru-buru dan umum.

“Kenapa kau selalu bertanya kepada burungmu untuk segala hal?” tanya Mono Ompong penasaran, sekali waktu.“Kehidupan manusia ini hanyalah impian kemaluan kita. Manusia hanya menjalaninya saja.”Si Tokek akan mengatakan, itu filsafat. –halaman 189

Meskipun sepanjang cerita yang dibahas adalah burung, tidak berarti tidak ada makna yang lebih dalam daripada itu. Burung di sini aku menangkapnya sebagai nafsu duniawi. Semenjak burungnya tak bisa bangun, Ajo Kawir memilih menjalani kehidupan sunyi, dengan tidak berlaku marah dan berkelahi dengan orang-orang. Ia juga sering bertanya kepada burungnya sebelum melakukan berbagai hal, seakan-akan burungnya adalah otak keduanya. Si burung kadang tidak menjawab dan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Di sini terlihat bagaimana si burung mewarisi sifat seperti manusia, diam-diam mengiyakan nosi bahwa kemaluan kita kadang yang mengontrol semua hal, bukan otak kita.

Secara keseluruhan, novel ini cukup ringan untuk dibaca dan berkontemplasi kembali mengenai makna kemaluan kita. Tapi aku bakal bilang ini bukan novel Eka terbaik kalau kamu baru mau memulai membaca novelnya dan tidak siap dengan kevulgaran yang ada di sini. Kamu bisa mulai dengan baca Corat-Coret di Toilet misalnya, kumcer yang ia tulis semasa ia menjadi anak kuliahan.

No comments:

Post a Comment