Saturday, May 12, 2018

An Artist of the Floating World

Genre: Fiksi, Fiksi Sejarah
Penulis: Kazuo Ishiguro
Tebal: 206 halaman
Tahun terbit: 1989
Penerbit: Vintage International
Sinopsis:

In the face of the misery in his homeland, the artist Masuji Ono was unwilling to devote his art solely to the celebration of physical beauty. Instead, he put his work in the service of the imperialist movement that led Japan into World War II.

Now, as the mature Ono struggles through the aftermath of that war, his memories of his youth and of the "floating world"-the nocturnal realm of pleasure, entertainment, and drink-offer him both escape and redemption, even as they punish him for betraying his early promise. Indicating by society for its defeat and reviled for his past aesthetics, he relives the passage through his personal history that makes him both a hero and a coward but, above all, a human being.

*
Awalnya aku memutuskan untuk tidak membaca Ishiguro lagi setelah membaca Never Let Me Go yang bagiku alurnya sangat lambat. Bertemu dengan dosenku yang menggemari Ishiguro (bahkan beliau mengadakan kuliah umum yang membahas pola menarik tertentu yang Ishiguro gunakan dalam karyanya), aku menjadi tertarik sebenarnya daya pikat apa yang Ishiguro punyai sehingga karyanya patut didiskusikan lebih lanjut. Menilik kembali, mungkin aku memang kurang sensitif dalam menangkap pesan yang ada. Selain itu, yang aku baca versi terjemahannya yang menurutku terjemahannya kurang halus sehingga emosi yang seharusnya tersampaikan menguar begitu saja.

Buku ini menceritakan tentang seorang pelukis, seorang pak tua bernama Masuji Ono. Dituturkan dari sudut pandang orang pertama yaitu Ono sendiri, kita diajak melihat bagaimana dia mereevaluasi lagi apa yang telah ia lakukan dalam hidupnya, karirnya, hingga kehidupan keluarganya. Ono mempunyai tiga orang anak, dua perempuan dan satu laki-laki. Ia kehilangan istrinya, Michiko, dalam serangan bom yang menghancurkan sebagian rumahnya. Kenji, anaknya yang laki-laki, mati membela Jepang dalam Perang Dunia I. Setsuko, anak perempuan tertua, sudah menikah dan mempunyai anak bernama Ichiro. Satunya lagi, Noriko, sedang mencari suami dan menurut Ono ini merupakan suatu hal yang genting mengingat Noriko sudah melewati umur 20 tahun.

Kultur Jepang saat itu masihlah kaku. Upaya mencari pasangan untuk Noriko ini diwujudkan dengan apa yang disebut marriage negotiation. Noriko pernah mengalami kegagalan dalam proses ini. Adalah hal yang biasa pada saat itu ketika sebuah keluarga menyewa detektif untuk menyelidiki masa lalu keluarga yang ingin mereka negosiasikan. Sebuah keluarga tiba-tiba membatalkan negosiasinya dengan keluarga Ono. Ini yang membuat Ono semakin khawatir. Agar hal ini tidak terulang ke depannya, ia mulai mengingat kembali bagaimana hidupnya telah bergulir dan hal-hal yang ia lakukan. Ia pun mencoba mengunjungi rekan-rekannya saat ia masih seorang pelukis dulu dan mengenang hal-hal menyakitkan.

Of course, it is not only when we are children that we are open to these small inheritances; a teacher or mentor whom one admires greatly in early adulthood will leave his mark, and indeed, long after one has come to re-evaluate, perhaps even reject, the bulk of that man’s teaching, certain traits will tend to survive, like some shadow of that influence, to remain with one’s throughout one’s life. –pg. 137

Ceritanya dituturkan masih dengan alur lambat dan terkesan berlompatan. Ono menceritakan berbagai hal tidak dalam urutan yang sesuai, ia menceritakannya ketika ia ingat dan kadang ingatannya pun bukan sesuatu yang bisa diandalkan. Samar-samar, ia mengingat bahwa perkataan seseorang padanya merupakan kalimat yang dia konstruksi sendiri. Ini menarik mengingat dalam kuliah umum yang dosenku adakan itu, salah satu pola yang terulang dalam karya Ishiguro adalah bagaimana ia merepresentasikan tentang apa yang namanya memori atau ingatan. Memori dalam buku ini berperan sebagai penyaring masa lalu. Maka, bagaimana orang-orang menceritakan tentang suatu hal yang terjadi itu lebih menarik daripada apa yang sebenarnya terjadi. Proses menceritakan ulang selalu melibatkan sebuah collective memory—sebuah ingatan bersama atas apa yang telah terjadi—yang bercampur dengan bagaimana seorang individu rasakan tentang hal itu. Inilah yang Ono lakukan dalam An Artist of the Floating World. Ia kadang terkesan menjustifikasi dan bangga atas apa yang ia lakukan di masa lalu, padahal bagi beberapa orang apa yang ia lakukan bukanlah sesuatu yang heroik. Ini terlihat bagaimana kedua anak perempuannya sering menyindir dengan halus si Ono dan membicarakan dia di belakang punggungnya.

Buku ini juga tergolong dalam genre fiksi sejarah. Tidak salah mengingat latarnya bertempat di Jepang setelah Perang Dunia I. Di masa-masa ini, Jepang bertransisi untuk menyamai Amerika dengan cara mengadaptasi kultur kebaratan, dimulai dari tatanan kamar hotel hingga gaya lukisan. Mereka yang menentang gerakan ini dianggap sebagai orang yang pro-Imperialis. Aku tidak akan membocorkan banyak detilnya, tetapi pada sinopsis sudah disinggung bahwa Ono salah satu figur yang mendukung gerakan pro-Imperialis ini sendiri. Di buku ini, pembaca akan diajak melihat bagaimana Ono merespon apa yang terjadi di sekitarnya dengan profesinya sendiri: seorang pelukis, seseorang yang seharusnya selalu mempunyai aspirasi untuk mengekspresikan estetika dari kehidupan yang ada.

Membaca buku ini, aku seakan diajak mengevaluasi apa yang telah aku lakukan di masa lalu. Sesuatu yang dianggap remeh dan trivial di masa lalu, mungkin sekarang itu bisa menjadi kunci yang berarti atas sumber masalahmu di masa sekarang.

Secara keseluruhan, aku merekomendasikan buku ini untuk mereka yang sentimental dan suka berkilas balik atas hal-hal yang telah mereka raih dan kesempatan yang mereka lewatkan. Jadi, apakah kamu siap?

No comments:

Post a Comment